Rabu, 11 Desember 2013

Dear Pengemuda-pengemudi Angkuh

Dear pembaca yang budiman,
Alangkah melayangnya saya jika anda sudi jua meluangkan sedikit waktu untuk sekadar mengedipkan mata di http://wordsdontslowmedown.tumblr.com/ dan http://soundcloud.com/wayaharna/ dan silahkan membaca juga tulisan saya sebelum-sebelumnya.
Sedikit pesan...

Mungkin, sekitar 1 bulan yang lalu, saya menemukan fenomena yang cukup langka terjadi di kota Jogja, satu hal yang mungkin hanya sering kita jumpai di kota-kota metropolitan dimana penduduknya merasa terlalu menguras energi walaupun hanya untuk menaikkan sedikit tepi bibir, membuka mulut, menggerakkan lidah dan memberikan amplitudo pada pita suara agar (samar-samar pun tak apa) terucap kata ‘apa kabar?’ kepada penduduk lain.

Fenomena ini baiknya saya sebut kemacetan. Karena sesungguhnya kemacetan memang tidak baik disebut, baiknya disingkirikan.

Dua minggu yang lalu, kala itu petang datang saya hendak bergegas pulang dari kampus menuju rumah. Diiringi mimik kelabu langit jogja yang terkonversi menjadi hujan, saya paksakan untuk pulang sambil mengenakan jas hujan yang sesungguhnya saya sangat malas mengenakannya. Bukan soal malu, bukan soal ribet, tapi karena memang sudah sobek kok, haha. Saya harus pulang, selain karena petang sudah mulai tidak lagi melajang, saat hujan memang paling nyaman berada di rumah. Berkubang di atas sprei kasur sambil menonton film ataupun membaca buku. Sesederhana itulah kebahagaiaan. Saya sudah dapat membayangkan bagaimana rasanya.

Namun bayangan itu semuanya pudar. Kemacetan mengkorosikan semuanya bak asam klorida. Dari kejauhan, saya melihat pemandangan yang seharusnya tidak harus saya lihat. Belum sampai 1 km saya dari kampus. Di jalan timur masjid kampus UGM berbaris rapi kendaraan roda 4 yang menyesaki jalanan, bak karnaval, mobil-mobil tumpah ruah hingga tidak menyisakan sedikitpun spasi agar motor, sepeda ataupun pejalan kaki dapat menekan tombol ‘enter’ untuk minimal dapat masuk di sela-selanya. Hasrat saya untuk tetap menyelamatkan imajinasi saya agar tetap terwujud jadi nyata terus menyeruak, hingga saya pun memutuskan untuk berbalik arah. Saya tidak cukup kuat untuk berjajar di antara mobil-mobil sambil berbasah ria yang terkadang dibumbui musik khas kemacetan : ‘bunyi klakson’. Saya memutuskan berbalik arah, lewat selokan mataram dan nanti saya akan lewat jalan Gejayan. Nahas, bukannya imajinasi saya terwujud, justru saya harus menguburnya dalam-dalam. Di jalan selokan mataram, justru mobil-mobil berbaris lebih rapi dari sebelumnya, seolah-olah menutup rapat-rapat jalan dari para manusia.....

Habis sudah kesabaran saya

Semenjak kejadian itu, hingga beberapa hari ini. Saya baru menyadari bahwa kota Jogja sudah penuh sesak dengan yang namanya mobil. Ya, mobil, kendaraan bermesin, beroda 4 yang orang bisa masuk di dalamnya sambil menyalakan AC dan menikmati alunan musik. Tidak peduli di luar matahari berusaha menyapa atau hujan berusaha mengajak bercanda. Kemacetan yang saya alami waktu itu sedikit banyak hasil kontribusi barang satu ini. Bukan saya antipati atau skeptis dengan mobil. Saya juga punya mobil kok di rumah, saya juga terkadang membawa mobil. Namun dari kejadian yang saya alami ini saya ingin berusaha lebih bijak, kapan saya harus memilih waktu yang benar-benar tepat untuk memutar kemudi, tidak akan sembarangan.

Semenjak kejadian itu, saya juga menyadari suatu hal. Ternyata di Jogja, mayoritas pengguna mobil adalah MAHASISWA, ya, bahkan MAHASISWA di kampus saya sendiri. Saya harus bagaimana?

Saya tidak keberatan kok anda mengendarai mobil, silahkan itu preferensi anda. Jika anda berpikir utilitas mobil berada di piramida tertinggi kendaraan, tidak masalah. Setiap individu punya hak.

Ya benar, setiap individu punya hak...

Dan salahkah kami, sebut saja ‘selain mobil’ sedikit ‘menuntut’ hak kami untuk meminta sedikit saja ruang di jalanan? Secara logika, kami hanya butuh sedikit ruang dibandingkan kalian, sebut saja ‘pengemudi’, jadi boleh lah kami memintanya. Kenapa kami harus meminta yang seharusnya sudah tersedia? ‘Seharusnya’ itu ternyata bukan sebuah ‘realita’, nyatanya jalanan di Jogja sekarang sudah disesaki oleh mobil. Saya coba perkecil koridor saya, sesama mahasiswa. Apakah kalian para ‘mahasiswa pengemudi’ juga tidak menyadari fenomena ini?

Saya bukan iri kok. Memang pernah datang saat itu, saat sebelum ini. Tapi sekarang saya justru bangga bukan bagian dari itu.

Memangnya apa?
Menghindari hujan? Saat mentari merona menampakkan tabirnya, kalian masih tetap di dalam menikmati dinginnya alat penyebab rusaknya atmosfer sembari mendengarkan repertoir teman perjalanan.

Berlindung dari terik matahari? Saat langit menetes, justru suatu kebanggaan berada di dalam sambil bersenandung lagu sendu.

Jarak yang jauh? Jika 15 menit perjalanan masih kalian sebut jauh, kenapa tidak membangun kampus di atas tempat tidur anda?

Barang bawaan terlalu banyak? Apakah setiap hari anda mengangkut kontainer ke kampus? Suatu retorika pernah terjadi saat saya melihat seorang mahasiswi turun dari mobil hanya menenteng satu Goodie Bag sedangkan di saat yang bersamaan ada mahasiswi lain membawa ransel sembari bagian depan motornya penuh sesak oleh tas lainnya.

Untuk bergaya? Memang siapa yang punya waktu cukup luang untuk mengamati sesosok insan manusia mengemudi? Kemudi itu di dalam, bukan di luar mobil.

Saya bukan melarang kok? Siapa saya? Saya skeptis? Tidak, saya bisa dan kadang juga mengemudikan mobil. Saya hanya ingin berkata bahwa, lihatlah realita yang ada, semakin lama jalanan semakin penuh sesak hanya karena terlalu banyak untuk mobil. Hingga suatu saat nanti, tikus pun enggan untuk menyeberang hanya karena tidak mau meregang nyawa di tengah kemacetan yang merupakan manifestasi keangkuhan.

Marilah menjadi bijak dalam mengemudi. Bijaksana saat menggunakan dan saat akan menggunakan. Jangan terlalu membanggakan barang satu ini, belum tentu ini hasil jerih payah kalian sendiri. Hargailah pengguna jalan lain, sebagaimana mereka merelakan ‘harga’ mereka di jalan kalian potong dengan roda 4. Apakah kalian juga tidak bahagia melihat kota Jogja suatu saat nanti kembali nyaman dimana setiap moda transportasi saling bersinergi merajut harmoni? Bukan seperti sekarang, kemudi justru mengkapitalisasi.

Anda berhak marah kepada saya, caci maki pun saya siap. Saya hanya menulis, ini media yang saya punya. Ya setidaknya menulis sedikit lebih bermanfaat dari mengemudi, sedikit. Lagipula dari judul tulisan ini, saya tujukan bagi ‘pengemudi angkuh’. Jika anda bukan irisan populasi itu, tak perlu khawatir. Justru anda harus bijak agar tidak tergabung. Fokus kuliah saja, haha...

Dasar mahasiswa-mahasiswi, ah bukan! Dasar pemuda-pemudi, ah maksudnya...
pengemuda-pengemudi angkuh!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar