Rabu, 06 November 2013

Jangan Heran

Jangan heran ya, jika tulisan saya kali ini sedikit ‘menyimpang’ dari tulisan saya yang lain. Jika di tulisan saya yang lain, anda akan menjumpai (semoga) guyon berbau satir hingga sarkas yang (semoga lagi) bisa membuat otot perut mengencang karena tertawa, kali ini berbeda, saya mencoba serius. Tenang, ‘keseriusan’ ini remanen, akan kembali ke asal saatnya nanti.

Sudah satu bulan belakangan ini, saya terkatung-katung. Bagaikan anak ayam kehilangan induknya, ah lebih parah bahkan! Mungkin lebih tepatnya, bagaikan anak ayam kehilangan induk dan habitatnya...

Baru kali ini saya merasakan hidup seperti ini, merasakan hidup yang segan. Apakah saya perlu menceritakan duduk permasalahannya secara terperinci? Penyebab dari segalanya. Ah, saya rasa tidak perlu semuanya, saya tidak mau lagi mencari pembenaran atasnya. Yang jelas sekarang ini saya seperti tidak merasakan ‘hidup’. Hari-hari saya sepi. Mungkin anda masih melihat saya bersemangat, selalu tertawa. Alamak, manusia mana yang tidak ingin senang, sekalipun dalam hati saya nanar, saya berusaha untuk (tampak) gembira. Saya sadar, semua yang membuat saya seperti ini, karena kesalahan saya sendiri. Benar apa kata peribahasa, lidah tak bertulang, ia bergerak semaunya, menggerakkan saya hingga saya seperti ini,menjadi menyedihkan...

Bahkan sudah lebih sebulan berlalu, perasaan tersebut masih sama, tetap nanar. Maaf bukanlah lem yang bisa merekatkan segalanya. Perbuatan bukan juga tali yang akan menyangganya. Lantas apa kuncinya? Perubahan. Ya saya harus berubah, menjadi lebih baik dalam segalanya. Namun, bagaimana saya bisa berubah, jikalau badan ini masih menggelepar bagaikan seonggok tumpukan sampah di jalanan yang menanti untuk diangkut, namun tak jua datang?

Saya baru sadar, saya ternyata masih sama seperti satu bulan yang lalu. Saya masih remuk, hati dan pikiran ini masih nanar. Saya masih belum bisa berlari ke depan, bagaimana bisa berlari jika merangkak saja masih belum kuasa. Jujur, perlahan-lahan saya belajar berubah, berubah menjadi lebih baik. Namun semakin saya berubah, justru semakin lebar nanar di hati saya.

Jikalau boleh saya berterus terang, saya rindu berjalan, bukan merangkak. Saya rindu saat saya tegak, tidak terkatung-katung. Saya siap untuk berubah, tapi tolong, dampingi perubahan itu, ajari saya untuk berubah. Sekarang, saya tidak punya ‘guru’ untuk berubah, tidak punya tambatan untuk berdiri tegak. Memang, tujuan saya berjalan, namun semakin saya berjalan, semakin jauh arah tujuan saya. Saya butuh ada yang berjalan di depan saya, bukan di depan untuk menuggu saya. Saya semakin merasa jauh untuk meraihnya. Justru semakin diri ini merasa lebih baik, semakin tujuan itu terasa lebih jauh.

Andai saya punya mesin waktu. Saya pasti akan kembali ke masa lalu. Saya ingin mengulamg semuanya. Ah, tapi hal seperti itu hanya ada di dunia mimpi saja, dan saya tidak sedang bermimpi, ini nyata. Dalam kenyataan, kita mendapat apa yang kita bayar. Saya membayar untuk kesalahan, dan saya mendapat hukumannya.

Oh tolong, sesungguhnya saya sudah tidak mampu seperti ini. Maaf, maaf dan maaf... Siapapun... Ah bukan, seseorang... Ah bukan lagi, seseorang itu... bantu saya. Saya tidak menuntut banyak, saya hanya berharap berikan GPS yang membimbing saya, keluar dari labirin penderitaan ini...

Saya rindu seseorang itu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar