Rabu, 05 Februari 2014

Fenomena 'Music Haters'

Tulisan ini juga dimuat di http://theperceptionists.tumblr.com/

Pada mulanya saya sedikit bingung mengenai topik ini. Berkaitan dengan music haters maupun tetek bengeknya. Bukan apa-apa, saya adalah tipikal orang yang mendengarkan musik karena musiknya, bukan tampangnya, lingkungannya, ataupun isu yang mengiringinya. Jadi saya tidak pernah terlalu memusingkan keberadaan haters dari sebuah band. Jika suatu musik nyaman di telinga dan masuk ke jiwa, hajar saja, tak peduli berapa banyak jumlah haters-nya .

Namun, setelah membaca persepsi yang dituangkan oleh sahabat saya, Dwian, mata saya jadi sedikit terbuka, alhasil, tergeraklah jari saya.

Haters, saya tidak tahu pasti definisi tentang kata ini, namun jika dirunut, haters berarti pembenci. Dalam musik, haters berarti pembenci musik, dalam hal ini bisa merujuk kepada pembenci suatu band atau aliran musik tertentu. Yang jadi pertanyaan adalah, mengapa mereka bisa membenci?

Sebenarnya saya bingung, geleng-geleng kepala. Musiknya bagus, tapi kenapa banyak yang membenci? Memang, bagus dan tidak itu perkara persepsi. Tapi di dalam musik sebenarnya tidak sahih kita mengatakan bagus dan tidak, musik adalah seni, dan seni menyoal persepsi. Pertanyaan belum terjawab, apa yang membuat mereka benci. Saya tidak tahu pasti, namun saya mencoba menganalisanya dengan persepsi saya sendiri.

Saya ambil kasus, dulu saat saya SMA, sekitar tahun 2007-2009, sedang nge-hype di kalangan seumuran saya band Pee Wee Gaskins. Saya termasuk yang bersyukur, band seperti Pee Wee Gaskins diturunkan oleh Tuhan ke dunia. Mengapa? Sekali lagi, saya menikmati musik karena musiknya. Memang, sama seperti sahabat saya Dwian, rock n’roll adalah kiblat saya dalam bermusik. Jimi Hendrix, Stevie Ray Vaughan, Led Zeppelin, The Rolling Stones, AC/DC, The Datsuns, Arctic Monkeys, The Black Keys, The S.I.G.I.T wajib hukumnya ada di playlist saya. Namun, saya juga tidak menutup mata terhadap band lain di luar rock n’roll. Saya juga sering menikmati alunan musik pop ala The Script, All Time Low, A Rocket To The Moon dll. Saya nyaman ketika mendengar alunan jazz khas George Benson, Corine Bailey Rae, Casiopea. Saya terbelalak saat mendengar alunan instrumental khas Depapepe maupun Trisum. Saya pun merasa nikmat mendengar sentuhan folk khas Ed Sheeran, Of Monsters and Men. Saya juga bisa terbang saat mendengar David Archuleta, Taylor Swift, Alanis Morisette, Carie Underwood, Katy Perry, Avril Lavigne berdendang. Bahkan percaya tak percaya, kepala saya juga bisa terhentak saat mendengar bombardir metal tiada ampun dari Deadsquad, Burgerkill Lamb Of God. Jadi saat Pee Wee Gaskins datang dengan sentuhan power-pop, khas dengan bebunyian synthesizer, saya kagum. Karena bagi saya mereka hebat, mereka bisa menciptakan musik hebat dan mendobrak pagar musik Indonesia yang waktu itu sangat didominasi band beraliran melayu, yang kurang sesuai dengan selera saya. Seiring perkembangan waktu, ternyata banyak haters yang menyuarakan kebenciannya terhadap band satu ini. Saya bingung, apa yang salah dengan Pee Wee Gaskins? Musik mereka bagus, skill para personilnya hebat, kemampuan musikalitas dalam mencipta lagu juga patut diacungi jempol, namun kenapa banyak yang membenci? Ternyata mayoritas para haters tersebut justru bukan membenci musiknya, tapi gaya berpakaian para personilnya, kelakuan fansnya bahkan hingga alasan klise karena mereka terlalu banyak tampil di gigs.

Saya tersenyum lebar saat mengetahui hal itu. Belajar dari kasus Pee Wee Gaskins di atas, ternyata banyak haters yang membenci suatu band bukan karena musiknya, tapi justru hal di luar musik itu sendiri. Lagi-lagi saya geleng-geleng kepala.

Benci gaya berpakaian? Kita adalah penikmat musik, bukan seorang fashion police. Memang benar, gaya seorang musisi bisa memperkuat imajinasi kita dalam menikmati musik dan gaya berpakaian juga menjadi identitas penegas yang bisa diidentikkan dengan musik suatu band tersebut. Saya belum bisa membayangkan apa jadinya Angus Young tanpa setelan jas seragam SD dengan topi khasnya, Red Hot Chili Peppers tanpa bertelanjang dada, Kiss tanpa make up uniknya, Stevie Ray Vaughan tanpa setelan cowboy-nya, bahkan Jimi Hendrix tanpa belly pants-nya. Tapi menghakimi suatu band itu buruk hanya karena gaya berpakaian? Berarti para haters itu menurut saya justru belum mengerti musik. Sama sekali tidak ada korelasi antara kualitas bermusik dengan gaya berpakaian. Gaya berpakaian hanya pendukung imajinasi, bukan faktor penentu musikalitas suatu band. Tak masalah suatu band berpakaian compang-camping asal kepala bisa mengayun saat mendengarnya.

Kelakuan fans suatu band yang sepertinya ‘alay’ jadi alasan para haters muncul? Jika memang yang bermasalah adalah fansnya, kenapa tidak menjadi haters fans tersebut? Lagipula memang kelakuan para fans seperti apa yang mereka anggap ‘alay’? Klasifikasi kelakuan ‘alay’ inilah yang sama sekali tidak jelas seperti apa. Saya pribadi tidak pernah mempermasalahkan tentang fans. Selama tidak anarkhi, saya tidak menyoal. Lagipula apa arti konser live tanpa bernyanyi bersama fans, headbanging, moshpit dan stage diving? Apa arti band tanpa kehadiran fans? Justru fans suatu band yang menjadi haters band lain itulah yang saya anggap ‘alay’.

Terlalu sering muncul di gigs. So what? Itu berarti suatu band berprestasi, suatu band dicintai, suatu band dihargai. Gigs, bagi saya adalah bentuk apresiasi tertinggi terhadap suatu band, ada kenikmatan batin saat melihat suatu band bermain di depan para penikmatnya, tanpa tedeng aling-aling, benar-benar jujur, dengan tanpa berkomunikasi pun mereka bisa saling memahami. Karena bagi saya lebih menyenangkan melihat suatu band sering tampil di acara musik yang hanya disaksikan oleh 10 orang namun benar-benar mengerti musik hingga suasana menjadi gila daripada band yang hanya tampil ala kadarnya dalam acara sirkus pagi di depan 100 orang yang (mungkin) tidak tahu band apa yang sedang tampil. Jadi, alasan tersebut sangat tidak relevan dilontarkan oleh haters hanya karena suatu band sering diundang di banyak acara musik. Benci atau iri?

Bagi saya, sah-sah saja suka atau tidak suka terhadap suatu band atupun genre musik tertentu, itu adalah pilihan. Yang saya tidak suka adalah, bentuk penyampaian ekspresi dari pilihan tersebut. Jika memang tidak suka, ya dibalas dengan karya yang lebih hebat, tak perlu berkoar-koar kesana kemari, malah membuat para haters menjadi lebih rendah daripada band yang mereka benci. Jika ingin mengungkapkan ekspresi, contohlah Efek Rumah Kaca, elegan bukan? Lagipula para penikmat musik sudah sangat cerdas, pada akhirnya kualitas yang berbicara, band yang benar-benar mengerti musik seutuhnyalah yang akan bertahan. Nyatanya Pee Wee Gaskins tetap bertahan sampai sekarang, bahkan saya baru mendengar kabar sekitar setahun lalu mereka diundang ke Jepang untuk menjadi pengisi acara salah satu festival musik dengan skala yang cukup besar disana. See? Quality proved it!

Jadi menurut saya inti dari semua ini adalah ternyata sikap yang dilontarkan para haters ini diakibatkan mereka tidak mampu menjadi lebih baik daripada band yang mereka benci. Lalu mereka menjadi menyalahkan musik. Huft...

‘Karena saya percaya, musik itu sendiri tidak pernah salah, yang dapat membuat ‘musik’ itu nampak buruk adalah sistem yang berinteraksi dengannya’

Salah satunya para haters.

1 komentar:

  1. keren mas
    "lebih menyenangkan melihat suatu band sering tampil di acara musik yang hanya disaksikan oleh 10 orang namun benar-benar mengerti musik hingga suasana menjadi gila daripada band yang hanya tampil ala kadarnya dalam acara sirkus pagi di depan 100 orang yang (mungkin) tidak tahu band apa yang sedang tampil" (y)

    BalasHapus