Dewasa ini saya makin prihatin dengan kondisi sektor pertanian di Indonesia, termasuk industrinya. Bagaimana tidak, negara kita yang berjulukan negara agraris justru malah sektor pertaniannya makin hari mari makin terbengkalai. Sepertinya julukan negara agraris bagi Indonesia hanya terkesan hitam di atas putih dan hanya tinggal menunggu waktu sampai ke depannya julukan itu hanya tinggal sejarah. Sebagai salah satu contoh, sekarang di negara kita, fenomena impor bahan makanan dan komoditi pertanian yang lain sepertinya sudah menjadi hal yang ‘lumrah’. Apalagi fakta ini diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan No. 13 Tahun 2011 yaitu tentang pembebasan bea masuk untuk 57 komoditas pertanian, dengan dalih ketersediaan jangka panjang yang sedikit tidak masuk akal. PMK ini hanya secuil dari lembaran betapa masih ‘dianaktirikannya’ sektor pertanian di negara kita. Sebagai seorang agroindustrialis dan juga sebagai seorang yang telah mengenyam pendidikan Pancasila dari bangku pendidikan dasar hingga sekarang. Saya merasa fakta-fakta ini mulai melenceng dari nilai-nilai dalam sila-sila Pancasila, terutama sila ke-5 Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengapa demikian? Kita tahu sila ke-5 Pancasila berbicara tentang keadilan, keadilan yang seharusnya bisa diterima dan dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Namun kenyataan berkata lain, dengan berbagai macam kebijakan pemerintah yang seolah-olah mulai meminggirkan sektor pertanian di Indonesia, keadilan untuk sektor ini mulai luntur. Bagaimana dengan nasib jutaan rakyat tani miskin di Indonesia? Yang mana merupakan investor gurem sektor pertanian kita yang menggantungkan hidupnya hanya dari bertani. Yang sekarang ini kesejahteraannya mulai tidak diperhatikan lagi. Fokus pembangunan pemerintah saat ini pun sudah beralih, bukan lagi sektor pertanian seperti dulu, saat pertanian merupakan senjata utama yang seharusnya kita pergunakan, namun pemerintah terus fokus pada pembangunan yang diiringi dengan industri berbasis teknologi tinggi yang seringkali di dalam industri itu terbangun paradigma yang salah yaitu semua bahan bakunya harus impor apabila industri tersebut ingin maju.
Adilkah semua ini? Memang ketika bicara tentang keadilan, merupakan hal yang sangat sulit ditemui suatu titik ketercapaiannya, kita harus melihat dari berbagai macam perspektif dan menimbang banyak faktor. Terlalu naif memang apabila kita bicara keadilan namun kita sendiri tidak bisa adil ataupun kita tidak tahu arti dari adil itu. Di sini saya memang tidak bisa mengatakan ini sebagai suatu ketidakadilan secara absolut, saya lebih pantas mengatakan bahwa fenomena ini adalah suatu ketimpangan sosial yang terjadi terutama yang diterima oleh para jutaan rakyat tani di Indonesia, yang mana pertanian adalah tempat mereka bernaung. Saya melihat bahwa fenomena seperti ini terjadi karena sekarang ini segala macam kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah sudah mulai perlahan-lahan melupakan Pancasila yang merupakan landasan dari segala kebijakan yang akan dibuat, yang semua tidak boleh sampai melenceng darinya. Pancasila seharusnya diposisikan sebagai mediator antara kemauan rakyat dengan apa yang dapat dilakukan oleh Pemerintah, sehingga diperoleh suatu jalan terbaik yang bisa mewadahi semuanya. Namun yang terjadi justru sebaliknya, sekarang ini Pancasila hanya dianggap sebagai suatu keberadaan yang cukup diketahui namun tidak perlu dimengerti. Apabila mentalitas seperti ini tidak segera diperbaiki, bukan tidak mungkin ke depannya Indonesia akan berada di ambang keterbelakangan. Fenomena semacam ini terjadi bukan hanya karena adanya dominasi dari berbagai kepentingan, namun lebih disebabkan karena para pelaku pembuat kebijakan sudah mulai hilang mentalitas Pancasila dalam individu masing-masing. Ambil contoh kasus impor beras di saat panen raya medio Maret lalu, bukankah suatu hal yang absurd dan tabu untuk melakukan kegiatan impor manakala ketersediaan di negara kita sedang melimpah? Dalih ketersediaan jangka panjang seakan terus menjadi bemper atas dibuatnya kebijakan semacam ini. Namun di balik semua ini, aroma money policy yang berujung pada korupsi terasa sangatlah kental mempengaruhi setiap keputusan yang dibuat, tentu moralitas semacam ini sudah melenceng jauh dari apa yang terkandung di dalam nilai-nilai luhur Pancasila. Mari coba lihat dampak dari kebijakan ini, di mana banyak pihak yang keadilannya justru dirampas dengan lahirnya kebijakan seperti ini, contohnya para petani, ujung tombak sektor pertanian kita. Seakan kerja keras dan jeri payah mereka demi untuk menyediakan kebutuhan beras untuk ketahanan pangan di negara kita menjadi sia-sia. Seperti inilah bentuk ucapan terima kasih pemerintah terhadap para pejuang pangan. Mereka berharap akan memperoleh banyak keuntungan dari hasil panen raya yang mungkin tidak bisa setiap tahun kita rasakan, namun nyatanya justru menjadi sebuah ironi ketika harapan petani-petani tersebut sirna dihantam oleh impor beras yang diiringi dengan harga beras di pasaran yang turun drastis dan perilaku para konsumen yang masih lebih memilih produk lokal ketimbang produk impor. Belum lagi peran BULOG yang belum signifikan dalam mengontrol harga di pasaran, yang sekarang lebih nampak seperti ‘abdi dalem’ para pemegang kepentingan. Apakah ini adil? Mungkin iya dari perspektif konsumen ataupun para perumus kebijakan yang tidak tahu bagaimana perjuangan para petani sampai bisa mengalami panen raya. Namun bagi para petani dengan adanya kebijakan semacam ini menjadi semacam tirani yang justru kian lama kian menyiksa mereka. Bukan tidak mungkin, hal ini akan berimbas jangka panjang membuat banyak petani menjadi hilang semangat sehingga produksi pertanian makin lama semakin terhambat. Contoh kasus lainnya yang mungkin sehari-sehari sebenarnya kita selalu menghadapi namun mungkin tidak langsung merasakannya, yaitu perkembangan industri pertanian di negara kita. Sekarang ini pola pengembangan industri di negara kita beralih kepada pengembangan industri berbasis teknologi tinggi, padat modal, dengan bahan baku impor berkualitas tinggi yang harus juga diiringi dengan tenaga kerja terdidik dengan upah yang tinggi, sehingga sekarang acuan industri kita telah berubah menjadi Import Based Industry bukan lagi dengan bangganya kita menjadi Domestic Based Industry seperti pada zaman pemerintahan orde baru, di mana pada saat itu pembangunan di negara ini benar-benar sudah terencana dengan matang dengan adanya PELITA, dan itupun dimulai dengan benar-benar memaksimalkan sektor yang merupakan keunggulan di negara kita seperti pertanian untuk kemudian berkembang ke sektor yang lain. Namun kenyataan yang ada sekarang justru berkebalikan. Entah karena pengaruh globalisasi atau karena tidak mau dianggap kalah bersaing dengan negara lain, seakan kita seperti menjadi lupa akan apa yang seharusnya menjadi ‘kodrat’ kita. Banyak yang menjadi korban atas dilakukannya langkah seperti ini. Jutaan UKM dan industri tradisional kita yang berbasiskan hasil pertanian menjadi melemah diakibatkan pasar di negara kita terus menerus dibanjiri dengan produk-produk yang pada dasarnya bahan bakunya impor, sehingga industri domestik kita, harus menelan pil pahit bahwa produknya tidak laku dan tidak dapat berkembang, padahal bukankah jika kita ingin mengekspansi produk-produk kita hingga ke luar negeri, yang seharusnya kita maksimalkan adalah komoditi yang benar-benar orisinil dari negara kita seperti aneka kerajinan tangan khas daerah ataupun produk pangan yang juga khas dari berbagai daerah, yang mana banyak wisatawan asing justru menaruh respek dan apresiasi tinggi terhadap itu semua, sedangkan kita sendiri, mungkin membelinya pun masih berpikir dua kali, karena kembali lagi kepada lagu lama, prestis.
Sebenarnya apa yang dilakukan pemerintah terhadap pengembangan industri berbasis impor tidaklah salah, justru hal tersebut perlu karena memang negara kita juga tidak dapat menghasilkan bahan baku dan mengembangkan itu semua, di samping agar mampu bersaing dengan negara lain. Namun apabila ‘diimani’ kelewat berlebih, bahkan sampai menganaktirikan industri berbasis domestik kita, terutama pertanian, itu yang menjadi tidak tepat. Seperti yang kita tahu sekarang, arah dari pembangunan di Indonesia secara tidak langsung selalu mengarah kepada teknologi dan teknologi, itu tidak salah. Namun sumber daya konvensional kita seperti dalam sektor pertanian mulai dilupakan. Menjadi sebuah ironi ketika di mana Industri barang elektronik di negara kita terus diangkat dan diangkat, sektor pertanian dan pangan kita justru ‘dihadiahi’ dengan impor beras, kelapa sawit, dan lain-lain. Di saat industri alat berat terus digalakkan, para petani kita tercabik-cabik haknya karena harga hasil panen mereka yang merosot jauh di pasaran, yang sudah dibanjiri oleh produk impor. Di saat musim panen buah-buahan, kulkas rumah tangga disesaki oleh aneka buah impor. Di saat supermarket-supermarket penuh sesak oleh konsumen yang berbondong-bondong ingin menyerbu produk impor, produk asli kita dilirik pun tidak sama sekali, adilkah yang seperti ini?
Kembali lagi ke permasalahan awal, adilkah ini semua? Masih pantaskah untuk dipertahankan? Memang bicara tentang keadilan, dalam hal ini untuk sektor pertanian sangatlah sulit, apalagi menyangkut kepentingan masyarakat banyak, jutaan rakyat Indonesia. Di mana mayoritas mata pencaharian dari penduduk kita ini adalah sebagai petani. Namun justru kaum mayoritas inilah yang malah diperlakukan tidak adil.. Memang perlu kita lihat dari berbagai perspektif sampai kita benar-benar bisa menyimpulkan apakah ini adil atau tidak. Persoalan utama dari semua ini memang bukan hanya terletak pada keadilan semua ini, namun juga tentang apakah setiap kebijakan yang dibuat sudah benar-benar menjadi jalan tengah atas berbagai kepentingan yang ada, terlepas dari ada tidaknya pihak yang diuntungkan atau dirugikan, karena dua hal tersebut sangat sulit lepas dari setiap kebijakan. Tentunya ini untuk melihat ini semua secara jernih, kita harus melihat kembali Pancasila terutama sila ke-5 nya. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia memiliki makna yang sangat dalam dan luas. Jika kita gunakan sila tersebut untuk meninjau permasalahan yang ada, maka kita akan memperoleh suatu kesimpulan bahwasannya apa yang dilakukan oleh Pemerintah tersebut pastinya merupakan jalan terbaik yang bisa ditempuh untuk mengatasi permasalahan yang ada, namun alangkah lebih baiknya juga apabila jalan yang terbaik itu dapat menjadi lebih baik lagi apabila nilai-nilai dalam Pancasila lebih dapat diterapkan secara lebih baik lagi, terutama sila ke-5 yang menyangkut keadilan masyarakat kita. Memang, sekarang ini mencari sosok pemimpin dengan mentalitas dan moralitas Pancasila yang sebenarnya sangatlah sulit, Pancasila cukup dimengerti, namun tidak ada dorongan dalam diri untuk berusaha menggali lagi sebenarnya ada nilai-nilai lain apalagi yang terkandung di dalam Pancasila, yang sebenarnya sangatlah banyak. Sudah bukan barang baru lagi bahwa sektor pertanian termasuk, adalah kekuatan bagi bangsa ini untuk dapat mencapai suatu ketahanan bangsa. George W. Bush, mantan Presiden Amerika Serikat dalam pidatonya pernah berkata ‘Negara mana yang tidak peduli akan pertanian di negaranya, maka sesungguhnya negara tersebut sedang di ambang bahaya yang sangat besar.’. Hal ini membuktikan bahwa negara adikuasa sekaliber Amerika Serikat yang bergelimpangan teknologi tinggi pun masih menempatkan sektor pertanian sebagai sektor yang sangat krusial yang pembangunannya tidak boleh sampai sedikitpun terbengkalai. Ambil contoh lain Thailand, negara yang sektor pertaniannya sudah begitu terkenal, mereka sadar, mereka tidak mampu untuk bersaing dengan negara lain apabila berbicara tentang industri berbasis teknologi tinggi, namun mereka mengatasinya dengan jalan memaksimalkan industri berbahan baku hasil pertanian yang merupakan keunggulan sebagai senjata utama, dan sekarang kita tahu semaju apa mereka dan siapa orang yang tidak kenal dengan Jambu Bangkok?
Sekarang ini, bukan lagi saatnya untuk menyesal, malu, jatuh. Sekarang adalah saatnya untuk bangkit, bangkit dari ketergantungan, dari semuanya. Sekarang saatnya untuk memaksimalkan kembali sektor pertanian di negara kita ini, yang sumber dayanya sangat melimpah. Mari kita buat julukan negara agraris kembali bergema lagi. Tidak perlu harus meninggalkan sektor lain, cukup dengan perlahan-lahan kita semua mulai memberi perhatian lebih kepada ‘si anak tiri’, pertanian, agar ia bisa bangkit lagi dan menjadi kekuatan bangsa ini, seperti dahulu. Tentunya agar semua ini dapat tercapai, semangat nasionalisme yang dipupuk dari nilai Pancasila haruslah mengakar kuat terlebih dahulu dalam diri kita. Untuk para pemimpin, janganlah kalian dibutakan oleh hingar bingar kesenangan semu, namun berpikir lebih arif lagi bahwa segala kebijakan harus adil seadil-adilnya, dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Dengan nilai-nilai dalam sila ke-5 dan semangat ber-Pancasila semua akan bisa dicapai. Dan untuk kita, generasi muda, terutama para calon agroteknolog dan agroindustrialis, dengan spirit hari kesaktian Pancasila, akan mengiringi kita untuk lebih bersemangat mendalami Pancasila demi kemajuan bangsa. Agar ke depannya, tidak lahir ‘anak tiri’ baru. Demi keadilan untuk pertanian Indonesia, keadilan untuk semua, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan untuk kemajuan bangsa Indonesia.
wedyiann..ngeriiwww tenan postingane + akeh tenan tulisane (skiming ki le moco) haha
BalasHapussundul gan !!
haha, thanks jeg! iki aku yo mung repost tugas makalahku kok, hehe. ayo kapan koe balik jogja jeg? melu ngopi cah cah ngko
BalasHapus