Rabu, 12 Maret 2014

Televisi

TELEVISI

Aku ingin muncul di TV, buat acara sendiri – Naif (Televisi)

Sepenggal lirik yang rasa-rasanya bisa digunakan untuk menggambarkan apa yang saat ini sedang memenuhi hati saya. Sudah cukup lama saya prihatin dengan acara yang disiarkan oleh televisi negara kita. Dari fajar menyambut di ufuk timur hingga tenggelam di sisi barat, seperti sudah ada repetisi yang selalu bisa ditebak, apa dan siapa yang muncul di televisi. Pagi, diawali dengan acara sirkus berdalih pertunjukan musik lokal terbaik. Siang, membusakan mulut dan telinga dengan acara gosip pesohor layar kaca penuh intrik dan sensasi. Sore, opera sabun (red : sinetron) yang agaknya terlalu irasional untuk ditabulasikan ke dalam kehidupan nyata. Malam, acara hiburan yang dikemas dengan cara menganiaya para pengisi acara, baik dengan kata-kata kasar maupun fisik dengan durasi yang dielaborasi berlebihan, hingga tidak bisa diterima oleh akal sehat. Ya, hampir setiap hari yang terjadi ya seperti ini. Ironisnya, bukannya berlomba untuk mendobrak batas, para penyedia layanan televisi justru secara membabi buta terus menganiaya pemirsanya, jangan sampai kalah dengan pesaing, hanya demi rating, sinting!

Do you feel like a chain store? Practically floored, one of many zeroes, kicked around bored, your ears are full but you’re empty. I’ve seen so much, i’m goin’ blind and i’m braindead virtually – Blur (Coffee & TV)

Benar sekali apa yang Graham Coxon cs. analogikan dalam lirik di atas. Saya memang melihat acara televisi, tapi sebenarnya yang masuk ke otak saya ini ya hanya nol besar. Bagaimana bisa? Inilah yang saya rasakan (entah anda), bahwa televisi sekarang sesungguhnya telah meracuni pikiran kita. Ya, racun yang sangat berbahaya. Waktu saya masih kecil, acara hiburan anak yang diisi dengan permainan interaktif, kuis asah otak, nyanyian anak-anak sungguh menggembirakan. Sekarang? Miris melihat anak kecil dibawah umur begitu fasih melenggak-lenggokkan badannya menirukan salah satu maskot acara penganiayaan masal di televisi. Saat saya mulai beranjak remaja, MTV adalah surga, dan di dalamnya berisi para dewa yang benar-benar mampu mengabulkan permintaan para pemujanya dengan alunan musik (yang sesungguhnya) berkualitas. Sekarang? Dewa-dewa sudah tiada, digantikan para iblis yang menciptakan musik bukan karena ingin bermusik, namun hanya karena ingin dipuja. Padahal iblis itu tidak patut dipuja, benar kan? Karena hanya ingin dipuja, karya yang keluar pun terkesan seadanya. Dan ketika saya mulai dewasa, saya sudah tercekoki dengan kisah cinta fana insan manusia yang selalu saya lihat saat tengah hari, yang belakangan saya sadar, bahwa ternyata saya tidak sedang hidup di keluarga Montague & Capulet dalam fiksi Romeo & Juliet. Saya sadar, bahwa di televisi semua yang fana bisa jadi nyata, di televisi kisah cinta bagaikan surga tak peduli neraka.

Beberapa waktu yang lalu saya juga sangat terkejut saat mendengar berita bahwa salah satu pesohor ibukota yang rona merah mukanya selalu bisa kita lihat di televisi, kapanpun waktunya dan apapun stasiunnya, mendapatkan bayaran hampir 90 juta per episodenya. Ya, anda sedang tidak salah baca, 90 juta sekali tayang. Bisa anda bayangkan, jika sehari dia muncul di televisi sampai empat kali, berarti hanya dalam sehari dia bisa mengantongi hampir 400 juta. Dan yang perlu anda garisbawahi tebal-tebal, itu hanya untuk satu pengisi acara, silahkan kalkulasi sendiri jika rata-rata dalam satu episode membutuhkan lima pengisi acara. Yang membuat saya menghela nafas dalam-dalam adalah, uang sebanyak itu dihamburkan hanya untuk membayar seorang peserta berkata kasar, menganiaya pengisi acara lain, mengulik habis kehidupan pribadinya untuk dikonsumsi publik, menghibur secara abstrak dan tanpa konsep, sungguh logika yang sulit saya terima. Kenapa dengan uang sebanyak itu, tidak coba digunakan dengan lebih bijak. Dengan uang sebanyak itu, kenapa tidak membuat acara musik yang ‘sebenar-benarnya?’ Uang 400 juta dalam sehari bisa untuk mendatangkan Efek Rumah Kaca hingga GIGI untuk mengisi acara musik live dengan konsep menarik lengkap dengan settingan termutakhir sampai kuping kita terpuaskan, bukankah jauh lebih menghibur daripada hanya untuk membayar pesohor palsu untuk menyanyi dan bergoyang yang hanya akan merusak pikiran kita? Dengan 400 juta, daripada untuk membayar pengisi acara saling menganiaya, adakan saja turnamen pencak silat untuk generasi muda, lebih murah, lebih edukatif dan jika masih ingin mendapatkan esensi ‘penganiayaan’, kita masih bisa mendapatkannya secara elegan. Dengan 400 juta, undang saja Adrie Subono atau Yoris Sebastian untuk berbagi pengalaman serta memberikan tips serta motivasi yang tentunya akan jauh lebih bermanfaat daripada harus membayar mahal seorang pesohor hanya untuk berbagi romantika pribadinya yang rasa-rasanya juga tidak berpengaruh apapun terhadap kita selain hanya mengakumulasikan dosa.

They’ve sped up to the point where they provoke, the punch-line before they have told the joke. Plenty of desperation to be seen, staring at the television screen – Arctic Monkeys (Teddy Picker)

Sepertinya memang tidak akan habis saya membahas televisi dengan segala kepalsuan dan kefanaannya. Saya pun juga masih bertanya, saya bisa apa? Sepertinya masih ‘jauh panggang dari api’ jika saya harus membuat sendiri stasiun televisi pribadi. Karena sekarang yang dibutuhkan adalah aksi, caci maki sudah tak ada arti, namun saya hanya kurcaci, yang hanya bisa meratapi. Namun kegalauan saya perlahan sedikit terobati, sekarang sudah ada stasiun lokal yang menawarkan sesuatu yang lebih baru dan menarik. Stasiun televisi seperti Kompas TV dan Net.TV perlahan mulai menambal lubang di hati saya akibat sayatan stasiun televisi lokal para penguasa. Memang, stasiun televisi yang baru ini masih harus banyak berjuang untuk dapat bersaing dengan para penguasa, tapi setidaknya mereka sudah berani menantang, untuk mulai melangkahkan kaki meruntuhkan tirani pertelevisian yang ada. Dan saya akan terus mendukung aksi ini, selama masih ada program televisi yang bermanfaat saya tidak boleh berhenti. Karena kunci dari semua ini adalah berani. Seperti kuotasi dari Dallas Buyers Club, salah satu film yang mengisahkan perjuangan hidup yang hebat dari seorang pria dalam melawan penyakit AIDS yang baru saja saya tonton :

“Dare to live!”

Selamatkan pertelevisian Indonesia, selamatkan generasi penerus bangsa!

Selamatkan saya juga, tengok di http://theperceptionists.tumblr.com/

2 komentar:

  1. Tulisanmu tidak berubah, tetap sama. Memuat pendapat pribadi yang berargumen logis dan relevan disertai analisis dengan metafora, pengungkapan sesuatu secara tidak langsung dengan perbandingan analogis seperti yang diungkapkan dengan penggalan lirik Blur itu. Nice. Diksi unik juga tetap menghiasi tulisanmu. Aku cuma berkomentar di aspek teknis tulisan saja. Untuk konten tulisan, aku no comment. Keep writing.
    Dwian K. Hendra

    BalasHapus
  2. Hahaha. Nonton youtube wae mas. Iso milih acarane

    BalasHapus